ogiexslasher blogs

↑ Grab this Headline Animator

Kamis, 18 Agustus 2011

Menjawab Tudingan Miring Seputar Ide Khilafah



Penulis : M. Shiddiq Al-Jawi
(Dipublish dengan niat turut menyebarkan dakwah Syari'ah Khilafah. Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)

Pendahuluan
Setelah Khilafah Islamiyah hancur di Turki tahun 1924, umat Islam dicengkeram dan didominasi oleh peradaban Barat yang kafir, khususnya sistem demokrasi yang lahir dari paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Karena itu, tidak heran kalau cara pandang dan cara berpikir mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai peradaban Barat yang berpangkal pada sekularisme itu. Ide-ide Barat seperti sekularisme, demokrasi, dan pluralisme diterima lebih dulu sebagai kebenaran absolut secara taken for granted, lalu dijadikan standar untuk menilai dan menghakimi ajaran Islam. Jika suatu ajaran Islam cocok dengan nilai-nilai peradaban Barat, bolehlah diamalkan. Tapi kalau tidak cocok, ajaran Islam itu wajib diubah, diadaptasikan, dimodifikasi, dan bahkan dihancurkan agar sesuai dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, 1997:147-256).

Cara berpikir sesat seperti itulah yang merasuki kaum sekular-liberal yang membenci dan sekaligus takut dengan konsep Khilafah. Sekularisme yang merupakan pengalaman sempit dan lokal dari Barat, dianggap suci, mutlak benar, dan dapat berlaku universal. Sekularisme inilah yang kemudian digunakan untuk menghakimi dan memvonis Khilafah. Kesimpulan sidang absentia mereka, Khilafah harus dihukum dengan mengeluarkannya dari bagian ajaran Islam. Penolakan ini tentu bukan karena Khilafah bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi karena Khilafah tidak cocok dengan logika sekularisme yang menghapuskan peran agama dalam pengaturan kehidupan publik.
Selain itu, kewajiban Khilafah juga ditolak karena katanya sejarah Khilafah penuh konflik yang berdarah-darah, otoriter, dan gagal. Khilafah juga dikatakan sekedar ijtihad sahabat sepeninggal Nabi SAW, yang bisa saja berubah-ubah sesuai waktu dan tempat. Dan seterusnya bla bla bla... (Luthfi Assyaukanie, Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim, www.islamlib.com; Jajang Jahroni, Khilafah Islam : Khilafah Yang Mana? www.islamlib.com).

Tulisan ini bertujuan memberikan jawaban dan penjelasan seputar Khilafah itu. Fokusnya adalah menjelaskan paradigma berpikir kaum sekular, yaitu paham sekularisme, yang mendasari berbagai tuduhan dan keraguan itu, serta menjawab secara langsung sejumlah tuduhan dan keraguan yang dilontarkan.

Menyoal Paradigma Sekularisme 
Anda tidak bisa berpikir secara konsisten dan sistematis tanpa paradigma. Tanpa paradigma, konsep Anda akan sangat rapuh dan ringkih. Ibarat bangunan yang tidak ada pondasinya. Paradigma adalah pemikiran dasar (al-fikr al-asasi) yang menjadi asumsi dasar atau basis bagi segala pemikiran cabang. Dalam bahasa Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977), paradigma itu diungkapkannya dengan istilah qa’idah fikriyah, yaitu suatu pemikiran asasi yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lain (An-Nabhani, 2001:25).

Segala macam penolakan Khilafah, sesungguhnya terbit dari satu paradigma saja, yaitu sekularisme, tidak ada yang lain. Sekularisme itulah yang dijadikan paradigma pemikiran oleh kaum sekular-liberal yang membenci Khilafah. Maka dari itu, bisa dimaklumi mengapa kaum sekular-liberal sangat memuja-muja Ali Abdur Raziq (w. 1966), bekas ulama dan hakim agama di Mesir, yang dalam bukunya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm : Bahts fi al-Khilafah wa Al-Hukumah (terbit 1925) telah menolak sistem Khilafah sebagai bagian ajaran Islam (Luthfi Assyaukanie, Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966) Peletak Dasar Teologi Modern, www.islamlib.com).

Padahal, secara sosio-historis, sekularisme adalah pengalaman lokal Barat, tidak universal, dan jelas tidak bisa dipaksakan atas Dunia Islam yang berbeda karakteristiknya. Th. Sumartana secara jujur mengakui :
”Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan agama dan negara sesungguhnya sejak awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep yang mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara agama dan negara di bagian dunia yang lain...”
(Th. Sumartana, ”Pengantar”, dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xiv)

Mengapa sekularisme bersifat lokal, tidak universal, dan tak bisa dianggap berlaku bagi dunia lain, seperti Dunia Islam? Sebab, sekularisme lahir karena ada sejumlah faktor-faktor pendorong yang bersifat khas dan unik dalam masyarakat Kristen Barat. Paling tidak ada 3 (tiga) faktor pendorong lahirnya sekularisme :

Pertama, problem teks Bible,
Kedua, problem teologis Kristen,
Ketiga, problem trauma rejim agama (religious regim). (Lihat Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).

Problem teks Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) muncul antara lain karena Bible bermasalah dari segi orisinalitasnya, dan dari segi pengertiannya bila dicocokkan dengan realitas ilmu pengetahuan dan teknologi. Wajar kemudian kalau Jim Walker dan Shabir Ali (2005) menemukan 101 kontradiksi dalam Bible baik tentang kisah amoralitas, sadisme, terorisme, maupun pornografi. Bahkan jauh sebelumnya, majalah Times edisi 30 Desember 1974 memuat artikel How True is The Bible yang menyatakan, dalam Bible ada 50.000 kesalahan (Deedat, 1999:29).

Dari segi orisinalitas, teks Bible tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa aslinya. Bahasa asli Perjanjian Lama adalah Hebrew (Ibrani), dan bahasa asli Perjanjian Baru adalah Greek (Yunani). Sedang Nabi Isa AS sendiri, berbicara dalam bahasa Aramaik. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya ke dalam bahasa Latin, lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Jerman, Inggris, Perancis, dan lain-lain. Tunggu. Ini belum selesai. Dari terjemahan Inggrisnya itu, Bible lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia (Ugi Suharto, Apakah Al-Qur`an Memerlukan Hermeneutika, www.insistnet.com).

Dari segi relevansi Bible dengan sains, kita dapati juga setumpuk problem. Betapa tidak, karena banyak ayat-ayat Bible yang tidak relevan dengan fakta atau kemajuan sains dan teknologi. Menurut ajaran gereja resmi, bumi itu adalah pusat tatasurya (konsep geosentris). Ini karena, menurut Bible, bumi itu tidak bergerak sehingga berbagai benda langit (seperti matahari) dianggap mengelilingi bumi. Dalam Mazmur (Psalm) pasal 93 ayat 1 dikatakan,”Yea, the world is established, it shall never be moved.” Jelas ayat ini problematis karena bertabrakan dengan fakta sains, yaitu matahari sebagai pusat tatasurya (konsep heliosentris ) seperti yang dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus (w. 1543) dan Galileo Galilei (w. 1642).

Contoh lain, menurut ajaran resmi gereja, bumi itu datar, seperti meja dengan empat sudutnya. Bumi bukan bulat, seperti penemuan sains dan teknologi hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan :
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten berpegang teguh dengan Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible. Problem teks inilah yang kemudian mendorong kaum Kristen Eropa untuk melakukan sekularisasi. Mereka memisahkan ajaran Kristen dengan ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia.

Problem teologis Kristen, merupakan implikasi yang wajar dari problem teks Bible. Sebab jika teks Bible-nya sendiri bermasalah, maka konsep teologis yang lahir dari teks itu jelas akan semakin absurd dan tidak jelas. Contohnya adalah doktrin Trinitas (Tritunggal), yang lahir bukan sejak awal sejarah Kristen, tapi diputuskan ratusan tahun sesudah wafatnya Nabi Isa AS (30 M). Trinitas lahir dalam Konsili Nicea tahun 325 M pada saat Romawi di bawah Kaisar Konstantine (L. Berkhof, 1992:7, Cave, 2000:19). Doktrin Trinitas ini, menurut Thomas Aquinas, pemikir Kristen abad ke-13, dijelaskannya dengan kalimat,”Responsio dicendum quod deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari.” (That God is three and one is only known by belief, and it is no way possible to demonstratively proven by reason) [Bahwa Tuhan itu tiga dan sekaligus satu, hanya bisa diketahui dengan keimanan. Tidak ada cara yang memungkinkan untuk membuktikannya dengan akal). (Douglas C. Hall, The Trinity, Leiden : EJ Brill, 1992, hal. 67-68, dalam Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).

Karena sangat mustahilnya Trinitas itu, tokoh-tokoh Kristen sendiri gagal memberikan penjelasan dan argumentasi yang memuaskan akal (Lubis, 1990:38; Syalaby, t.t. : 88). Maka satu-satunya cara memahami Trinitas, adalah membunuh akal, tidak ada jalan lain. Tertullian berkata,”Credo quia absurdum!” (aku beriman [pada Trinitas] justru karena doktrin itu tersebut memang tidak masuk akal). Saint Augustine menyatakan,”Credo ut intellegam.” (aku percaya [Trinitas] supaya aku bisa mengerti). Sementara itu, Saint Jerome menyatakan,”De Mysterio Trinitates recta confessio est ignoratio scientia.” (Misteri Trinitas hanya dapat diimani dengan mengakui bahwa kita memang tidak bisa memahaminya) (Syamsuddin Arif, Jejak Kristen Dalam Islamic Studies, www.insistnet.com).
Problem teologis Kristen inilah yang kemudian mendorong Eropa untuk menyingkirkan agama dari arena kehidupan. Sebab agama dianggap irasional dan melumpuhkan bahkan membunuh akal manusia.

Problem trauma rejim agama, lahir sebagai akibat berikutnya dari akumulasi problem teks Bible dan problem teologi Kristen. Ajaran Kristen yang absurd itu lantas diterapkan dalam pemerintahan berlandaskan agama (religious regime) yang merupakan kolaborasi antara gereja dan negara (para raja dan kaisar) di Eropa sepanjang Abad Pertengahan. Raja dianggap wakil Tuhan di bumi, berdasarkan hak-hak ketuhanan yang dipunyai raja (Divine Rights of King). Karena itu, segala kata dan perbuatan raja tak bisa salah (infallible) (ingat sembnoyan The King can do no wrong). Rejim agama ini terjadi sejak tahun 325 ketika Kaisar Konstantine mengadopsi Kristen sebagai agama negara, dan berakhir ketika meledak Revolusi Perancis tahun 1789 yang bersemboyankan seruan Voltaire (w. 1778) : ”Gantunglah Raja terakhir dengan usus pendeta terakhir!” (George Weigel, 2003:45).

Barat mengalami trauma dengan banyaknya pengalaman buruk dan mengerikan ketika mereka menerapkan religious regimes tersebut. Rejim ini telah menimbulkan pembantaian jutaan manusia lewat inquisisi terhadap orang yang dianggap heresy (keluar dari doktrin resmi gereja), pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (ex-communication), penjualan surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain. Orang Perancis akan terus mengenang pembantaian kaum Protestan oleh kaum Katolik di Paris tahun 1527, yang dikenal dengan The St. Bartholomew’s Day Massacre. Hanya dalam satu malam, sekali lagi satu malam, sekitar 10.000 orang Protestan mati disembelih orang Katolik. Selama berminggu-minggu, jalan-jalan di Paris berlumuran darah dan dipenuhi dengan ratusan ton mayat kaum Protestan yang bergelimpangan dan membusuk (Abdullah Nashih Ulwan, 1996:75). Lembaga Inquisisi di dataran Katolik dan Protestan Eropa antara tahun 1450 hingga 1800 telah menyiksa dengan kejam dan menghilangkan sekitar 5.000.000 nyawa, di mana 85 % korban penyiksaan adalah kaum wanita. Sekitar 2.000.000 sampai 4.000.000 wanita dibakar hidup-hidup (Peter de Rosa, Vicars of Christ, London : Bantam Press, 1991, hal. 239, dalam Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).

Jadi dalam sejarah Barat, ketika agama dan negara disatukan dalam sebuah religious regim, memang menimbulkan malapetaka dan penderitaan yang sedemikian dahsyatnya. Sehingga wajar dan sangat bisa dimaklumi, kalau Barat lalu menyerukan sekularisme agar agama dan negara terpisah.

Nah, tiga faktor di atas, yaitu problem teks Bible, problem teologis Kristen, dan trauma rejim agama Kristen, semuanya berakumulasi dan berujung pada satu titik yang tidak boleh tidak memang harus terjadi dalam sejarah Barat yang Kristen, yaitu sekularisasi. Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa Friedrich Gogarten (w. 1967) seorang teolog Protestan Jerman menyimpulkan,”[Secularization] is a legitimate consequence of the Christian faith.” (Sekularisasi adalah konsekuensi yang sah dari keimanan Kristen) (Lihat bukunya Verhagnis und Hoffnung der Neuzeit : die Sakularisierung als Theologhisches Problem [Nasib dan Harapan Zaman Kita : Sekularisasi Sebagai Suatu Problem Teologis], Stuttgart : 1958).

Maka, benarlah bahwa sekularisme memang bersifat lokal, tidak universal, dan tak bisa dianggap berlaku di Dunia Islam. Sebab faktor-faktor pendorong sekularisme yang telah diterangkan tadi, memang bersifat unik dan khas sebagai problem Dunia Kristen Barat. Islam sungguh tidak pernah mempunyai faktor-faktor tersebut, atau tidak pernah mengalami faktor-faktor tersebut dalam kadar yang mendekati atau setara dengan pengalaman Barat. Teks Al-Qur`an tidak pernah mengalami nasib sedemikian tragis dan mengenaskan seperti teks Bible. Teks Al-Qur`an yang kita baca saat ini, adalah betul-betul sama dengan yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW (w. 632 M). Teologi Islam (ilmu kalam) tidak pernah pula mengalami perbedaan pandangan yang sedemikian mendasar seperti teologi Kristen. Teologi Islam sepakat tuhan itu satu, berbeda dengan teologi Kristen yang masih memperdebatkan apakah tuhan itu satu atau tiga dalam Konsili Nicea tahun 325. Khilafah Islam pun sepanjang sejarahnya selama 13 abad tidak pernah melakukan satu pun kezaliman yang kejamnya mendekati (apalagi melampaui) kekejaman luar biasa dari rejim-rejim agama Kristen di Abad Pertengahan.
Jadi, secara sosio-historis sekularisme itu betul-betul asli dan alamiah made in peradaban Barat yang Kristen. Tidak lahir dari Dunia Islam. Karena itu, kalau kemudian kaum liberal kerasukan paham sekularisme ini, lalu menjadikannya paradigma berpikir untuk menolak konsep Khilafah, berarti mereka telah terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kebodohan yang tiada bandingannya. Na’uzhu billah min dzalik !

Sejumlah Tuduhan dan Jawabannya
Sejumlah kecaman, tuduhan, dan fitnahan telah dilontarkan oleh kaum sekuler untuk menyerang konsep Khilafah. Jika ditelaah dengan cermat dan seksama, berbagai tuduhan itu menyiratkan 3 (tiga) hal penting :

Pertama, paradigma yang melandasi bermacam tuduhan itu adalah sekularisme, bukan yang lain.
Kedua, berbagai tuduhan itu secara implisit telah menggunakan perspektif nilai-nilai Barat dan didasarkan pada pengalaman historis Barat.
Ketiga, seringkali tuduhan itu menunjukkan bahwa penuduhnya tidak memahami persoalan, atau memang sengaja melakukan disinformasi untuk kepentingan penyesatan.

Sesungguhnya berbagai tuduhan itu akan gugur dengan sendirinya setelah kita tahu bahwa bahwa paradigmanya (yaitu sekularisme) adalah paradigma yang keliru dan sesat. Berbagai tuduhan itu dapat diumpamakan cabang dan ranting pohon yang berasal dari akar yang sama. Jika akarnya telah tercerabut dari tanah, maka seluruh bagian pohon tidak akan bisa berdiri tegak dan akan roboh dengan sendirinya. Firman Allah SWT (artinya) :
”Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (QS Ibrahim [14] : 26)

Berikut ini beberapa tuduhan terhadap Khilafah yang berasal dari berbagai sumber, terutama www.islamlib.com, dan juga jawabannya dari berbagai sumber, terutamawww.hizbut-tahrir.or.id :

Tuduhan 1 : Khilafah itu utopis dan absurd, karena mengandaikan satu payung politik untuk negeri-negeri muslim di seluruh dunia

Jawaban :
(1) Kalau mewujudkan Khilafah dikatakan sulit, memang benar. Kalau utopis, tidak. Menggunakan kata ”utopis” untuk sesuatu yang masih mungkin, adalah suatu kesalahan. Sebab utopis itu artinya adalah cita-cita yang yang tak mungkin tercapai (Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1982:1139). Utopis berasal dari kata utopia yang awalnya adalah judul buku penulis Inggris Thomas More (1478-1535) yang terbit tahun 1516 (Ebenstein & Fogelman, 1994:208). Isinya menjelaskan suatu negara yang serba indah dan baik, yang hanya ada dalam angan-angan (W. Surya Endra, Kamus Politik, hal. 323).

(2) Khilafah yang merupakan satu negara untuk seluruh kaum muslimin di dunia, pembentukannya tentu tidak serta merta dan dalam satu waktu. Kalau ini jelas tak mungkin dan suatu hil yang mustahal. Caranya, menurut An-Nabhani, adalah dengan lebih dulu mendirikan Khilafah di sebuah negeri muslim di Dunia Islam, lalu Khilafah itu terus berekspansi untuk memperluas wilayahnya dengan menyatukan negeri-negeri Islam lainnya (An-Nabhani, At-Takattul Al-Hizbi, 2001:6-7). Ini tidak mustahil, sebab dulu Rasul pun lebih dulu mendirikan Dawlah Islamiyah hanya sebatas kota Madinah. Tapi saat beliau wafat, wilayah Islam telah meluas meliputi seluruh jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, dan UEA. Perluasan wilayah Islam terus dilanjutkan para khalifah sesudahnya hingga wilayah kekuasaan keKhilafahan meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropa.

(3) Banyak ayat dan hadits yang memprediksikan kembalinya Khilafah. Misalkan QS 24 : 55, dan hadits Nabi SAW riwayat Ahmad dan Al-Bazzar bahwa setelah masa Nubuwwah, ada fase Khilafah Rasyidah, lalu mulkan ‘adhan (kekuasaan yang menggigit), mulkan jabriyan (kekuasaan yang memaksa), dan setelahnya akan muncul lagi Khilafah ala minhajin nubuwwah.

Tuduhan 2 : Khilafah tidak populer dan feasible (layak), karena bertentangan dengan konsep negara bangsa (nation state) yang disepakati semua manusia modern 

Jawaban :
(1) Kalau pun konsep negara bangsa telah disepakati semua manusia, bukan berarti konsep itu benar dalam pandangan Islam. Sebaliknya, sesuatu yang tidak disukai oleh seluruh manusia, belum tentu merupakan kekeliruan dalam Islam (lihat QS 2:216). Siapa yang bisa menjamin bahwa sesuatu yang disepakati seluruh manusia adalah suatu kebenaran yang tidak boleh dibantah? Bahkan Allah SWT berfirman (artinya) :
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS Al-An’aam [6] : 116)

(2) Format Dunia Islam yang kini terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan konsep negara bangsa, adalah hasil rekayasa penjajah kafir. Terutama pasca PD I dan PD II. Kondisi ini sungguh bertentangan dengan ajaran Islam dari Al-Qur`an, Al-Hadits, dan Ijma’ Shahabat yang mewajibkan persatuan umat di bawah satu negara. Firman Allah SWT (artinya) :
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai.” (QS Ali ’Imran [3] : 103)

Sabda Rasulullah SAW,”Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim)

Dalam kitab Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah Juz V hal. 416 disebutkan, ”Para imam yang empat sepakat...bahwa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dua mempunyai dua imam (khalifah), baik keduanya sepakat atau bertentangan.”
Jadi, mendukung konsep negara bangsa artinya adalah mendukung terpecah belahnya umat Islam. Itu adalah dukungan terhadap hegemoni dan dominasi kaum penjajah yang kafir.
(3) Menyatukan umat Islam memang berat, tapi bukan utopis. Masalahnya terletak pada kesadaran umat untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa bisa bersatu karena meyakini visi dan misi yang sama yakni nasionalisme Indonesia. Sebaliknya disintegrasi bisa terjadi kalau masyarakat tidak lagi satu visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. Demikian halnya umat Islam sekarang. Kalau muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah, pastilah mereka akan bersatu. Dan ini bukan utopis karena Rasulullah SAW dan KeKhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini justru menolong persatuan umat Islam sedunia (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 3 : Khilafah telah gagal dan tidak berjalan sempurna, karena terbukti 3 khalifahnya dalam Khilafah Rasyidah (Umar, Ali, Utsman) mati terbunuh

Jawaban :
(1) Cara mengukur gagal tidaknya sebuah negara yang melaksanakan ideologi tertentu, adalah dengan mengukur dari segi fikrah (konsep) dan thariqah (metode pelaksanaan konsep). Bukan dengan melihat sejauh mana kelangsungan hidup kepala negaranya dari ancaman pembunuhan. Dengan kata lain, berhasil tidaknya negara ideologis diukur dari segi konseptual dan praktikalnya, yaitu sejauh mana negara itu mempunyai dan memahami konsep hidup yang sahih, dan sejauh mana negara itu berpraktik mengaplikasikan konsep itu untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan dalam konsep idealnya. Itulah cara mengukur keberhasilan negara, bukan diukur hanya dengan cara melihat sejauh mana keselamatan jiwa kepala negaranya. Itu terlalu naif.

(2) Tuduhan itu terlampau menggeneralisir (over generalization) dan menyederhanakan masalah (over simplification), seakan-akan sejarah keKhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Apakah kita akan menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa keKhilafahan Abbasiyah pada tahun 700 – 1400 M? Kita seharusnya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah.

(3) Keliru pula menyimpulkan bahwa karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.

(4) Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami Perang Saudara yang berdarah-darah pada abad ke-19. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Abraham Lincoln, pembunuhan John F. Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Ronald Reagan dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya? Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, juga penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003). Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi ? (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id)

Tuduhan 4 : Khilafah hanya mungkin diterapkan dalam wilayah geografi sempit dengan komunitas politik yang relatif seragam


Jawaban :
(1) Untuk menjawabnya, cukup pihak penuduh disadarkan, bahwa dia tidak paham fakta sejarah. Apakah kita menutup mata bagaimana wilayah kekuasaan keKhilafahan yang meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropa? Untuk perbandingan sederhana saja, negara Islam yang berpusat di Madinah saat Rasulllah SAW wafat saja wilayahnya telah meliputi jazirah Arab yang kini meliputi kurang dari 7 negara bangsa ( Arab Saudi, Yaman, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain). Ini berarti empat kali luas gabungan negara Perancis dan Jerman.Apalagi kalau dibandingkan dengan negara kecil seperti Singapura, Swiss, Brunai. Apakah kita masih mengatakan wilayah geografis terbatas terbatas?

(2) Masalah homogenitas, juga terjadi kekeliruan pada pihak penuduh. Di Madinah saja, sebagai pusat negara Islam yang pertama, penduduknya sangat heteregon : terdiri dari berbagai kabilah, suku, termasuk terdapat komunitas Yahudi. Saat keKhilafahan meluas, di Mesir, Irak, Iran, Syiria, Spanyol terdapat komunitas Kristen, Yahudi, pemeluk keyakinan Zoroaster dan lainnya. Argumentasi kondisi faktual umat Islam sekarang yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik yang berbeda juga lemah untuk menolak keberadaan Khilafah. Perlu diketahui di masa Rasulullah juga terdapat banyak kabilah dengan berbagai karakter dan kepentingan politik yang berbeda, tapi Rasulullah SAW berhasil menyatukannya dengan menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka berdasarkan Islam. (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id)

Tuduhan 5 : Khilafah bukan sebuah bentuk kekuasaan yang diwajibkan agama, tapi hanya ijtihad politik sahabat sepeninggal Nabi, terbukti dari tidak adanya sistem pengangkatan khalifah yang baku antara Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

Jawaban : 
(1) Benar, bahwa tidak ada tatacara teknis yang baku dalam pengangkatan khalifah. Tapi menyimpulkan tidak adanya sistem pemerintahan Islam dari kenyataan itu jelas sangat gegabah. Sebab, yang berbeda hanyalah tatacara teknis pembaiatan (uslub ba’iah), bukan metode pengangkatan khalifah (thariqah nashb al-khalifah), yaitu baiat. Jadi, harus dibedakan antara baiat (sebagai metode yang baku), dengan prosedur teknis sebelum baiat yang boleh berubah-ubah. Semua khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) menjadi khalifah hanya dengan baiat. Tidak ada metode lain. Tidak ada yang tanpa baiat. Yang berbeda hanyalah prosedur teknis yang ditempuh sebelum baiat dilakukan. Abu Bakar dibaiat oleh umat dari hasil syura di Saqifah Bani Saidah. Umar dibaiat oleh umat, setelah sebelumnya dicalonkan oleh Abu Bakar berdasarkan mandat umat kepada Abu Bakar. Utsman dibaiat oleh umat setelah Umar (atas mandat umat) membentuk komisi pemilihan khalifah yang bertugas memilih satu khalifah di antara mereka. Ali dibaiat oleh umat setelah Utsman wafat dan muncul dukungan dan tuntutan langsung dari umat untuk membaiat Ali (Abdul Qadim Zallum, Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, hal. 72-85)

(2) Khilafah bukanlah ijtihad sahabat, melainkan Ijma’ Sahabat. Jika benar Khilafah ijtihad sahabat, niscaya Khilafah tidak mengikat dan para sahabat pun akan ada yang berbeda pendapat, yaitu ada yang tidak mewajibkan Khilafah. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menolak wajibnya Khilafah. Yang ada hanyalah perbedaan pendapat, apakah si A atau si B yang akan menjadi khalifah. Bukan perbedaan pendapat Khilafah itu wajib atau tidak. Walhasil, kenyataannya, dan yang terjadi, Khilafah itu didasarkan pada kesepakatan semua sahabat (ijma’ sahabat), bukan ijtihad sahabat. Padahal Ijma’ Sahabat adalah sumber hukum syariah (dalil syar’i) ketiga setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Adapun fakta sejarah yang terjadi setelah masa sahabat, tidak mempunyai nilai sedikit pun dalam penetapan hukum syara’. Sebab kenyataan sejarah bukanlah sumber hukum. Jadi, andaikan setelah Khilafah Rasyidah terjadi proses pewarisan turun temurun dalam Khilafah Bani Umayyah dan Abbasiyah, maka itu hanya sekedar fakta, bukan suatu dalil syar’i. Andaikata saja setelah Khilafah Rasyidah sistem pemerintahan berganti menjadi selain Khilafah (ini andaikata saja), bukan berarti sistem selain Khilafah itu lantas boleh menurut syariah. Itu hanya fakta sejarah, bukan sumber hukum.

Tuduhan 6 : Khilafah dalam sejarah itu despotis (sewenang-wenang) dan tidak bisa dimintai pertanggung jawaban, karena khalifahnya adalah wakil Tuhan di muka bumi


Jawaban :
(1) Tuduhan bahwa dalam sistem Khilafah tidak ada mekanisme kritik dan pertanggungjawaban menunjukkan penuduh tidak mengerti tentang sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah, kritik bukan hanya boleh bahkan ia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan Islam. Mekanisme kritik ada 3 (tiga) :

Pertama, bisa dilakukan secara individual oleh setiap muslim. Tidak kurang Rasulullah SAW sendiri pernah mendapatkan kritik dari para sahabat-sahabatnya berkaitan dengan kebijakannya dalam perjanjian Hudaibiyah yang dinilai terlalu menguntungkan kafir Quraisy. Khalifah Abu Bakar juga pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khatab dalam kebijakannya memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Sementara, saat menjadi khalifah, Umar bin Khatab juga tidak sepi dari kritik. Di antaranya bahkan datang dari sekelompok wanita yang memprotes kebijakan Umar dalam membatasi jumlah mahar maksimal 400 dirham. Umar menerima kritik itu seraya mengatakan, “Wanita itu benar, Umar salah”.

Kedua, kritik juga bisa dilakukan melalui wakil rakyat (majelis al-ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem Khilafah, anggota majelis ummah berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan keputusan atau kebijakannya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat.

Ketiga, rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan khalifah bisa mengajukannya ke Mahkamah Madzhalim, yakni sebuah pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah). Tentu saja khalifah harus tunduk kepada keputusan mahkamah ini.

(2) Muncul pertanyaan, bagaimana kalau khalifah tidak mau mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mau mentaati keputusan pengadilan? Apakah rakyat boleh turun tangan secara langsung? Jawabnya, boleh karena rakyat adalah pemilik kekuasaan. Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan khalifah setelah terbukti bahwa khalifah menyimpang dari syariat Islam. Bahkan kalau penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap syariat Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan khalifah. Soal ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah, dan Rasul menjawab tegas boleh bila memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata (kufran bawahan).

(3) Jadi jelaslah bahwa dalam sistem Khilafah terdapat mekanisme yang sangat gamblang tentang bagaimana cara mengkoreksi penguasa. Namun, memang harus diakui pelaksanaan syariah Islam di masa pemerintahan keKhilafahan pada kenyataannya tidaklah selalu berjalan mulus. Ini tidak lepas dari kenyataan bahwa sistem pemerintahan Khilafah adalah sistem manusiawi (basyariah), yang bagaimana pun tetap dijalankan oleh manusia biasa yang bisa keliru atau menyimpang. Bukan oleh para malaikat atau orang yang maksum (infallible). Oleh karena itu, penting untuk diingat bahwa menilai sistem Khilafah hanya didasarkan pada adanya penyimpangan praktek sistem ini di masa lalu tidaklah tepat, tapi haruslah merujuk kepada sumber ide dan hukumnya yakni al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sistem politik apapun, selama masih dijalankan oleh manusia sangat mungkin menyimpang.

Demikian juga dengan sistem Khilafah. Karena itulah dalam sistem Khilafah ada kewajiban mengkritik agar penguasa ini tidak menyimpang. Menyimpulkan bagaimana sistem Khilafah hanya berdasarkan penyimpangan pelaksanannya di masa lalu seperti yang dilakukan oleh penuduh jelas akan menyebabkan kekeliruan dalam melihat bagaimana sistem Khilafah ini sesungguhnya. Kecuali kalau itu memang sengaja dilakukan untuk maksud tertentu.

(4) Penuduh telah menggunakan perspektif Barat bahwa Khilafah adalah sistem teokrasi, di mana raja adalah wakil tuhan di bumi. Padahal sistem Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang dijelaskan di atas. Syekh Taqiyuddin an Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan antara sistem khilafah dan sistem teokrasi. Sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, membedakan antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sultan). Dalam sistem khilafah, kedaulatan (al-siyadah) memang ditangan syaari’ (pembuat hukum, yakni Allah SWT), namun kekuasaan (al-sultan) tetaplah di tangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Sedang bicara tentang kekuasaan berarti berhubungan dengan siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of power).

Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah Allah SWT yang telah menurunkan Al-Qur’an dan as-Sunnah guna mengatur kehidupan manusia. Sementara, makna bahwa kekuasaan (al-sultan) di tangan rakyat adalah tak boleh seorang pun mengaku sebagai penguasa (khalifah) kecuali atas pilihan rakyat. Dan ketika seorang khalifah dipilih oleh rakyat, ia semata dipilih untuk melaksanakan hukum-hukum Allah (syariah Islam). Karena itu kata-kata, kebijakan atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatis sebagai kata-kata Tuhan yang lantas mutlak harus diikuti dan tidak boleh dikritik, apalagi bila nyata-nyata ucapan dan perintah itu bertentangan dengan syariah. Rasullah Muhammad saw sendiri pernah menyatakan: “Tiada ketaatan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah swt”. Maka, khalifah saat mengambil keputusan tetap harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, keputusan khalifah baru boleh ditaati selama merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau tidak, bukan hanya tidak boleh, bahkan wajib ditolak dan dikritik keras. Karena itulah dalam Islam ada kewajiban mengoreksi penguasa (khalifah) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang sangat tinggi bagi aktifitas untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadits disebutkan, “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dhalim (kejam)”. Mereka yang dibunuh akibat mengoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar setara saiyyudusyuhada (pemimpin para syahid) (M. Ismail Yusanto, Khilafah Islam, Sistem Tirani? Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah, www.hizbut-tahrir.or.id).

Penutup
Sebagai penutup, ada baiknya kita mengetahui tujuan tuduhan-tuduhan kaum sekular-liberal yang membenci Khilafah itu. Sesungguhnya, berbagai tuduhan itu tujuannya adalah : Pertama, agar umat Islam tersesat dan tertipu lalu menolak Khilafah yang sebenarnya sudah diketahui merupakan bagian ajaran Islam yang sangat penting (ma’luum min al-din bi al-dharurah). Kedua, agar umat Islam terus menerus menderita di bawah tindasan sistem sekuler yang kufur yang dipaksakan penjajah kafir atas umat Islam.

Jadi, segala macam tuduhan itu dimaksudkan untuk menjegal perjuangan umat yang ikhlas untuk mengembalikan Khilafah, serta untuk menjustifikasi dominasi penguasa sekuler yang menjadi antek-antek kaum penjajah kafir, khususnya Amerika Serikat. [ ]
-------

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin. Jejak Kristen Dalam Islamic Studies. www.insistnet.com
Assyaukanie, Luthfi. Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966) Peletak Dasar Teologi Modern. www.islamlib.com
----------. Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim, www.islamlib.com.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizhamul Islam. T.tp. : Hizbut Tahrir.
Audi, Robert. 2002. Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Yogyakarta : UII Press.
Berkhof, L. 1992. Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas (The History of Christian Doctrines). Bandung : Sinar Baru.
Cave, M.A.C. 2000. Is The Trinity Doctrine Divinely Inspired? Al-Mansoura : Al-Dar Al-Islamiyah.
Deedat, Ahmad. 1999. The Choice : Dialog Islam-Kristen. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Ebenstein, William & E. Fogelman. 1994. Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms). Jakarta : Erlangga.
Endra, W. Surya. 1979. Kamus Politik Serta Penjelasannya. Surabaya : Study Group.
Husaini, Adian. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal. www.insistnet.com
Jahroni, Jajang. Khilafah Islam : Khilafah Yang Mana? www.islamlib.com
Lubis, HM. Arsjad Thalib. 1990. Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Islam dan Kristen. Jakarta : Media Da’wah.
Suharto, Ugi. Apakah Al-Qur`an Memerlukan Hermeneutika. www.insistnet.com
Syalaby, Ahmad. Tanpa Tahun. Perbandingan Agama : Agama Kristen. Bandung : PT Alma’arif.
Ulwan, Abdullah Nashih. 1996. Islam Syariat Abadi. Jakarta : Gema Insani Press.
Wadjdi, Farid. Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie. www.hizbut-tahrir.or.id
Walker, Jim & Shabir Ali. 2005. The Dark Bible. Jakarta : Immanuel Press.
Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Weigel, George. 2003. ”Katolikisme Roma di Era Paus John Paul II”. Dalam Peter L. Berger (Ed.) Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia (The Desecularization of The World). Yogyakarta : Ar-Ruzz.
Yusanto, M. Ismail. Khilafah Islam, Sistem Tiranik? Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah. www.hizbut-tahrir.or.id
Zallum, Abdul Qadim. 2002. Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. T.tp. : Hizbut Tahrir.


Oleh : KH.M. Shiddiq Al-Jawi**
- - - - - - -
*Makalah disampaikan dalam dalam Seminar Nasional Sehari Bertema Meneropong Perjalanan Spiritual Dan Politik An-Nabhani Dan Sayyid Qutb Dalam Merekonstruksi Khilafah, Sub Tema Menjawab Tuduhan Dan Keraguan Seputar Khilafah Islamiyah, hasil kerjasama MT-FUNA Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dan KSPEI Malang, pada Sabtu 26 Maret 2005, di Widyaloka Convention Hall Universitas Brawijaya.
**M. Shiddiq Al-Jawi, lahir di Grobogan (Jateng), 31 Mei 1969. Alumnus Fakultas MIPA IPB Bogor dan pernah menjabat Ketua Umum Badan Kerohanian Islam (BKI) IPB Bogor tahun 1990-1991. Saat kuliah, menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Imdad dan Al-Azhhar, Bogor. Telah menerjemahkan sekitar 15 buku (berbahasa Arab), di antaranya Demokrasi Sistem Kufur karya Abdul Qadim Zallum. Buku yang telah ditulisnya antara lain Membangun Kepribadian Islam (Jakarta : Khairul Bayan), dan Prinsip-Prinsip Dasar Pemahaman Al-Qur`an dan Al-Hadits (Jakarta : Khairul Bayan). Sekarang dosen STEI (Sekolah Tinggi Ekonomi Islam) HAMFARA Yogyakarta, dan staf pengajar LPI (Lembaga Pendidikan Insani) Yogyakarta. Sedang menyelesaikan thesis pada program pascasarjana Magister Studi Islam UII, Yogyakarta. Aktivis di Hizbut Tahrir Indonesia.

Selasa, 09 Agustus 2011

Masalah Penting Seputar Puasa

Rukun-Rukun Puasa

Rukun-rukun puasa adalah sebagai berikut:

1.Niat


Yaitu kemantapan hati untuk melakukan puasa sebagai bentuk ketaatan atas perintah Allah subhanahu wata’ala atau untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallahu ‘alaihi wasallam,"Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya." (HR. al-Bukhari).

Jika puasa yang akan dikerjakan adalah puasa wajib, maka niatnya harus dilakukan pada malam hari sebelum fajar, berdasarkan sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam,"Orang yang tidak berniat puasa sejak malam harinya, maka tidak ada puasa baginya." (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa'i, redaksi ini ada dalam riwayat an-Nasa'i).

Jika puasa yang akan dilakukan adalah puasa sunnah, maka puasanya sah walaupun niatnya dilakukan setelah terbitnya fajar dan matahari telah tinggi, dengan syarat ia belum makan sesuatu apa pun. Ini berdasarkan pernyataan Aisyah radhiyallahu ‘anha, "Pada suatu hari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumahku, kemudian bertanya, "Apakah engkau mempunyai makanan?" Aku menjawab, "Tidak." Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam"Kalau begitu aku akan berpuasa." (HR. Muslim)

2. Imsak
bersabda,

Yaitu menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagainya.

3. Waktu


Yang dimaksudkan di sini adalah siang hari sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Jika seseorang berpuasa pada malam hari dan berbuka pada siang hari, maka puasanya tidak sah, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqarah:187)

Sunnah-Sunnah Puasa


1.Ta'jil (Menyegerakan Berbuka Puasa)


Yaitu segera berbuka puasa apabila waktu berbuka telah tiba, pada saat matahari benar-benar telah terbenam, sebagaimana sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam,"Manusia masih dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa." (Muttafaq ‘alaih).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga berkata, "Sesungguhnya Nabi shallahu ‘alaihi wasallam tidak mengerjakan shalat Maghrib sampai berbuka puasa walaupun hanya dengan seteguk air." (HR. Ath-Thabrani dalam al-Ausath 8/335)

2. Berbuka dengan Kurma atau Air


Yang terbaik adalah dengan kurma matang, boleh juga jenis yang lain dan terakhir adalah dengan air jika tidak ada kurma. Disunnahkan pula agar memakannya dalam jumlah yang ganjil: tiga, lima, atau tujuh.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, "Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan beberapa kurma yang telah matang sebelum mengerjakan shalat Maghrib. Jika tidak ada kurma matang maka dengan kurma kering, jika tidak ada maka beliau meminum beberapa tegukan air." (HR. At-Tirmidzi)

3. Berdoa ketika Berbuka Puasa


4. Sahur


Yaitu makan dan minum pada saat sahur, di akhir malam dengan niat berpuasa sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wasallam,"Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur." (HR. Muslim)

Dan juga sabda Nabi shallahu ‘alaihi wasallam,"Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat barakah." (Muttafaq alaih)

5. Mengakhirkan Sahur


Yakni sampai pada bagian akhir malam hari, sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wasallam,"Ummatku masih dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur. " (HR. Ahmad, hadits shahih)

Waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam yang akhir dan berakhir beberapa saat sebelum fajar tiba. Ketentuan ini berdasarkan peryataan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, "Kami melaksanakan sahur bersama Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat. Aku bertanya, "Berapa jarak antara waktu adzan dengan sahur?" Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menjawab, "Sekitar lima puluh ayat." (Muttafaq 'alaih).

Catatan: Orang yang merasa ragu-ragu mengenai terbitnya fajar, maka ia boleh makan sampai merasa yakin bahwa fajar telah terbit, kemudian berhenti dari makan dan minum sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al-Baqarah:187)

Seseorang berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, "Aku sedang sahur tetapi tiba-tiba aku merasa ragu-ragu sehingga aku berhenti sahur. Ibnu Abbas zberkata kepadanya, "Makanlah selama kamu merasa ragu-ragu sampai kamu tidak merasa ragu-ragu lagi (yakin)." (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Hal-Hal yang Makruh dalam Puasa


1. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan membersihkan hidung dengan cara menghirup air (istinsyaq) dan mengeluarkannya kembali (istinsyar) ketika berwudhu, berdasarkan sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam,
"Dan bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air dengan hidung kecuali jika engkau sedang berpuasa." (HR. Para penyusun kitab Sunan).

Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam membenci hal itu karena khawatir apabila air tersebut masuk ke dalam rongga tubuhnya sehingga merusak puasa.

2. Ciuman


Karena ciuman kadang-kadang dapat membangkitkan syahwat yang memungkinkan merambat sampai merusak puasa, baik itu dengan keluarnya air madzi, mani, bahkan hubungan suami istri yang mengharus kan untuk membayar kafarah.

3. Berlama-lama Memandang Istri


Seorang suami makruh hukumnya terus-menerus memadang istri dengan syahwat ketika dia dalam keadaan berpuasa.

4. Menghayalkan hubungan suami istri.


5. Menyentuh Wanita


Yakni menyentuhnya dengan tangan atau menempelkan tubuhnya pada tubuh.

6. Mengunyah Sirih


Mengunyah daun sirih dikhawatirkan beberapa bagiannya akan masuk ke dalam tenggorokan.

7. Mencicipi makanan.


8. Berkumur-kumur bukan untuk wudhu atau keperluan yang mengharuskannya.


9. Bercelak pada permulaan siang, tetapi jika dilakukan pada akhir siang maka hal itu boleh.

10. Berbekam


Orang yang berpuasa sebaiknya tidak berbekam atau mengeluarkan darah (seperti donor dan semisalnya, red) pada siang hari, karena dikhawatirkan akan melemahkan tubuh yang menyebabkan harus membatal kan puasa, karena dalam hal tersebut ada perkara yang dapat menjurus kepada batalnya puasa.

Perkara-perkara yang Dimaafkan dalam Puasa


Di antara perkara-perkara yang dimaafkan apabila dilakukan oleh seseorang yang sedang berpuasa adalah sebagai berikut:

1. Menelan ludah walaupun dalam jumlah banyak. Yang dimaksudkan adalah ludahnya sendiri bukan ludah orang lain.

2. Terpaksa muntah dan mengeluar kan cairan dari perut, jika tidak ada lagi yang masuk atau tertelan lagi ke dalam perut setelah keluar dari mulutnya.

3. Menelan lalat, nyamuk (serangga) karena tanpa disengaja.

4. Menghirup debu jalanan, asap pabrik, asap kayu bakar dan asap-asap lainnya yang tidak dapat dihindari.

5. Bangun pagi dalam keadaan junub.

6. Mimpi basah.

Tidak ada akibat apa pun bagi orang yang berpuasa jika ia mengalami mimpi basah dan hal itu tidak menyebabkan puasanya batal. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hukum tidak dapat diberlakukan atas tiga orang, yaitu; Orang gila sampai ia sadar; Orang tidur sampai ia bangun; Dan anak kecil sampai ia baligh.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

7. Makan dan minum tanpa disengaja atau karena lupa. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam
“Orang yang lupa sedangkan dia sedang berpuasa, kemudian ia makan atau minum maka ia harus menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah yang memberikan makan dan minum kepadanya.” (Muttafaq alaih)

Sumber: Kitab, “Minhajul Muslim” edisi terjemah, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi,
bersabda, halamah 465-469 dan 472-473.

Senin, 01 Agustus 2011

Rahasia Puasa

Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Di sinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-Ibadah Fil Islam mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan.
Menguatkan Jiwa
Dalam hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti apa pun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi hawa nafsu dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu yang membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Allah memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang artinya, "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya." (45: 23).
Dengan ibadah puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan demikian, manusia akan memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala doanya dikabulkan oleh Allah SWT. Rasulullah saw bersabda yang artinya, "Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak doa mereka: orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi." (HR Tirmidzi).
Mendidik Kemauan
Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu, Rasulullah saw menyatakan bahwa puasa itu setengah dari kesabaran.
Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.
Menyehatkan Badan
Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah saw, tetapi juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiga untuk udara.
Mengenal Nilai Kenikmatan
Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya. Padahal, kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.
Maka, dengan puasa manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, tetapi juga disuruh merasaakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Di sinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil. Rasa syukur memang akan membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman yang artinya, "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ?Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasati Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (14: 7).
Mengingat dan Merasakan Penderitaan Orang Lain
Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab, pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum teratasi, seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya, seperti di Chechnya, Kosovo, Irak, Palestina, dan sebagainya.
Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang menderita. Bahkan, zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tetapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir, dan sebagainya. Allah berfirman yang artinya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (9: 103).
Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Karena rahasia puasa merupakan sesuatu yang amat penting bagi kita, sudah sepantasnyalah kalau kita harus menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan penuh rasa gembira, sehingga kegembiraan kita ini akan membuat kita bisa melaksanakan ibadah Ramadhan dengan ringan meskipun sebenarnya ibadah Ramadhan itu berat.
Kegembiraan kita terhadap datangnya bulan Ramadhan harus kita tunjukkan dengan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan Ramadhan tahun sebagai momentum untuk mentarbiyyah (mendidik) diri, keluarga, dan masyarakat ke arah pengokohan atau pemantapan takwa kepada Allah SWT, sesuatu yang memang amat kita perlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah SWT bagi bangsa kita yang hingga kini masih menghadapi berbagai macam persoalan besar. Kita tentu harus prihatin akan kondisi bangsa kita yang sedang mengalami krisis, krisis yang seharusnya diatasi dengan memantapkan iman dan taqwa, tetapi malah dengan menggunakan cara sendiri-sendiri yang akhirnya malah memicu pertentangan dan perpecahan yang justru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan dari Allah SWT.
Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Khutbah Rasulullah Menyambut Ramadhan

Selain memerintah shaum, dalam menyambut menjelang bulan Ramadhan, Rasulullah selalu memberikan beberapa nasehat dan pesan-pesan. Inilah 'azimat' Nabi tatkala memasuki Ramadhan
Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.
Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-NYA. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah! Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

Rasulullah meneruskan:
“Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.”

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirathol mustaqim pada hari ketika kai-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain. Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Amirul mukminin k.w. berkata: “Aku berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi: “Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah”.

Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’.”

“Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain.”

“Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan ( syahrul muwasah ) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya.”

“Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang.”

Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu.”

“Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.”

“Oleh karena itu banyakkanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya.”

“Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya . Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.”

“Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga.” (HR. Ibnu Huzaimah). (Bul/Hidayatullah)

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.