Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pengalaman Nabi Muhammad melakukan Isra’ dan Mi’raj termasuk hal yang juga masih mendapat banyak perdebatan didunia Islam khususnya dan dunia Barat pada umumnya yang memang memandang kisah tersebut dengan kacamata skeptis dan menganggapnya hanya sebagai khayalan dan bualan dari Nabi belaka.;
Sebaliknya umat Islam sendiri meributkan apakah perjalanan yang dilakukan oleh Nabi tersebut dilakukan secara jasmani atau perjalanan rohani. Semuanya didasarkan pada cara pandang masing-masing orang dalam menafsirkan ayat dan hadis yang berhubungan dengan kejadian ini.
Kisah perjalanan malam Nabi Muhammad yang terjadi pada saat beliau kehilangan istri dan paman yang dikasihinya inipun sebenarnya secara obyektif dapat juga dianalisa melalui kacamata ilmiah dimana apa yang beliau alami sekitar 1400 tahun yang silam itu tidak ubahnya seperti seorang pebisnis yang melakukan perjalanan pulang-pergi dengan pesawat terbang dari suatu tempat ketempat yang lain.
Maha Suci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil haram kemasjidil aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya, untuk Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan Kami; Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat – Qs. 17 al-Israa’ : 1
Dengan segala kesucian-Nya, bebas dari kemauan, kehendak maupun ketinggian teknologi yang ada pada diri seorang hamba-Nya Muhammad, Allah telah memperjalankannya pada suatu malam yang sepi dengan segala kelengkapan dan fasilitas yang mengelilinginya sehinga terhindar dari segala hal buruk yang dapat terjadi selama perjalanan itu berlangsung dari suatu tempat bernama Masjid al-Haram dengan tujuan memperlihatkan kerajaan Allah dialam semesta.
Disurah yang lain Allah berfirman sehubungan peristiwa ini :
Perhatikanlah bintang ketika dia menghilang, tidaklah kawanmu (Muhammad) orang yang sesat dan bodoh, tidak juga perkataannya itu berasal dari hawa nafsunya pribadi, apa yang diucapkannya adalah wahyu yang disampaikan dan yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat (Jibril) yang mempunyai akal yang cerdas.
Dan dia telah menampakkan rupanya yang asli saat dia berada diufuk yang tinggi lalu dia mendekat dan menjadi rapat (terhadap diri Muhammad) tidak ubahnya berjarak antara dua busur panah atau lebih dekat lagi; kemudian dia (Jibril) meneruskan kepadanya (Muhammad) apa saja yang telah diwahyukan; hatinya tidak mendustakan apa yang sudah dilihatnya, maka apakah kamu hendak membantah apa yang sudah dia lihat ?
Dan sungguh dia telah melihatnya pada kesempatan yang lain, di Sidratul Muntaha yang didekatnya ada Jannah tempat tinggal; ketika Sidratul Muntaha itu diliputi sesuatu yang melapisinya maka tidaklah dirinya berpaling dari apa yang terlihat dan tidak juga dia bisa melebihinya, sungguh dia telah melihat tanda-tanda Tuhannya yang paling hebat– Qs. 53 an-Najm : 1 s/d 18
Dalam ayat yang cukup panjang diatas, dipaparkan bagaimana dalam peristiwa perjalanan malamnya itu Nabi Muhammad berjumpa dengan malaikat Jibril dengan wujudnya yang asli seperti yang pernah disaksikannya saat pertama kali beliau mendapat wahyu digua Hira.
Bila kita analisa ayat per ayatnya maka tidaklah sulit bagi kita untuk mengetahui bahwa semua yang sudah dialami oleh Nabi Muhammad tersebut bukanlah bualan maupun mimpi-mimpi belaka, tidak juga yang dialaminya merupakan sekedar pengalaman rohani yang tidak melibatkan jasad jasmaninya karena disitu dicantumkan keterangan bahwa hati Nabi sebagai rohani tidak mungkin mendustakan apa yang sudah dilihat oleh matanya sebagai indra jasmani.
Sebab itu juga kita bisa mengerti bila ada sebagian orang yang tadinya beriman namun setelah beliau menceritakan pengalaman terbangnya yang hanya dalam setengah malam saja berbalik murtad dan mendustakan kenabiannya.
Peradaban masyarakat Mekkah secara khusus dan dunia secara umumnya kala itu masing sangat rendah bahkan Eropa belum lagi mengenal masa renaisansnya, dunia juga belum mengenal pesawat terbang, orang masih berkhayal terbang dengan permadani atau kuda sembrani seperti pada film Aladdin dan sejenisnya.
Pesawat terbang sendiri baru dibuat pada abad 19 yaitu bulan Desember 1903 oleh Wright bersaudara (Wilbur Wright dan Orville Wright) dengan percobaan pertama mereka diatas padang pasir Kitty Hawk, Carolina Utara, Amerika Serikat (Sumber : Brian Williams, Pustaka Pengetahuan Modern, Pesawat Terbang, terj. Dadi Pakar, Penerbit PT. Widyadara, Jakarta, hal. 3)
Kejadian didalam mimpi tidak perlu diperdebatkan apalagi membuat seseorang menjadi gusar dan berbalik keimanan. Semua orang bisa saja bermimpi yang aneh-aneh, semua orang boleh saja mengatakan bahwa didalam mimpinya tadi malam telah pergi melanglang buana dan menemui banyak wanita cantik atau bahkan didalam mimpinya itu dia sudah menjalankan ibadah haji; namun semuanya tetaplah mimpi belaka yang hakekatnya tidak terjadi dialam nyata yang sebenarnya.
Dus, sekalipun misalnya benar bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj pernah terjadi didalam mimpinya, maka sesuai dengan ayat al-Qur’an yang lain bahwa mimpi yang diperlihatkan kepada Nabi pasti akan terjadi didunia nyata dan ini berarti tetap saja akhirnya mimpi Isra’ dan Mi’raj itu dialami secara jasmani oleh Nabi Muhammad.
Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya mengenai kebenaran mimpinya dengan sebenarnya – Qs. 48 al-Fath : 27
Bahwa perjalanan Isra’ dan Mi’raj disebutkan berlangsung pada waktu malam hari, dimana secara psikologis suasana lebih terasa tenang dibanding keadaan disiang atau dipagi hari, aktivitas masyarakatpun sudah berpusat didalam rumahnya masing-masing sekaligus beristirahat melepas penat bekerja seharian dan menjadi kondisi yang cocok dalam melakukan pendekatan kepada Yang Maha Kuasa apalagi bila kita mengingat keadaan jazirah Arabia diwaktu itu.
Kitab suci al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kita saat yang terbaik untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang muslim adalah malam hari.
Berdirilah pada malam hari untuk ibadah, separuhnya atau kurang dari itu atau malah lebih dari separuh malam dan bacalah al-Qur’an dengan perlahan-lahan. – Qs. 73 al-Muzzammil : 2 s/d 4
Sesungguhnya bangun diwaktu malam itu adalah paling baik dan lebih tenang bacaannya – Qs. 73 al-Muzzammil : 6
Dari kacamata ilmu modern, perjalanan Nabi keluar angkasa dimalam hari justru tepat sekali karena bila beliau diberangkatkan saat siang hari maka beliau naik menuju matahari yang menjadi pusat orbit semua planet dalam sistem matahari kita. Kenyataan ini tidak dapat disebut bahwa Nabi telah berangkat naik akan tetapi sebenarnya beliau justru turun karena semakin dekat kita pada pusat orbit atau pusat rotasi maka kita tidak sedang naik namun sedang turun, seandainya orang naik dari bumi menuju Planet Jupiter atau Saturnus hendaklah dia berangkat waktu malam yaitu bergerak dengan menjauhi matahari selaku titik yang paling bawah dalam tata surya kita.
Orang mengetahui bahwa semesta, galaksi, tata surya dan planet, masing-masingnya mengalami perputaran. Setiap putaran tentunya memiliki pusat putaran yang langsung menjadi pusat benda angkasa itu. Semuanya bagaikan bola atau roda yang senantiasa berputar. Maka sesuatu yang menjadi pusat putaran dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari pusat putaran dinamakan semakin atas.
Dalam hal ini keadaan dibumi dapat dijadikan contoh. Pusat putaran bumi dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari pusat itu dikatakan semakin naik keatas. Akibatnya, orang yang berdiri di Equador Amerika dan orang yang berdiri dipulau Sumatera, pada waktu yang sama, akan menyatakan kakinya kebawah dan kepalanya keatas, padahal kedua orang tersebut sedang mengadu telapak kaki dari balik belahan bumi, tetapi masing-masingnya ternyata benar untuk status bawah dan atas yang dipakai dipermukaan bumi ini.
Demikian juga jika contoh itu dipakai untuk status tata surya dimana matahari sebagai bola api langsung bertindak jadi pusat rotasi ataupun peredaran. Karenanya matahari dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari matahari dinamakan semakin naik keatas. Planet Venus dan Mercury berada dibawah orbit bumi karena keduanya mengorbit dalam daerah yang lebih dekat dengan matahari, jadi jika ada penduduk bumi yang pergi ke Venus, Mercury atau Matahari, maka orang tersebut hakekatnya sedang turun bukan naik, karenanya Planet Venus dan Mercury tidak mungkin disebut sebagai langit bagi planet bumi kita, sebab yang dikatakan langit adalah sesuatu yang berada dibahagian atas, tetapi benar kedua planet itu menjadi langit bagi matahari sendiri.
Selanjutnya, ayat al-Qur’an juga menyebutkan secara jelas bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi dari satu titik (daerah) bernama Masjid al-Haram dan kita semua tahu bahwa kata itu merujuk pada tempat bersujud disekeliling Ka’bah, entah itu dibagian yang disebut Hathiem, Hijir maupun maqam Ibrahim dimana menurut konon cerita sebagai tempat berpijak Nabi Ibrahim sewaktu meninggikan dasar-dasarnya bersama puteranya Nabi Ismail. Karenanya maka kita tidak perlu bingung dengan keberadaan hadis riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa Nabi diperjalankan dari Hatihiem dan Hijr seperti berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid dari Hummam bin Yahya dari Qatadah yang berasal dari Anas bin Malik dari Malik bin Sha’sha’ah bahwasanya Nabi Allah Saw telah menceritakan kepada mereka tentang suatu malam dimana beliau di Israa’kan : ‘Ketika aku di Hathiem dan terkadang beliau bersabda – aku ada di Hijir sambil berbaring ...’
Semuanya menunjukkan bahwa posisi Nabi kala itu masih berada di Mekkah dan dalam lingkungan Ka’bah (Masjid al-Haram) sesuai surah al-Israa’ ayat 1.
Hanya saja yang perlu kita koreksi adalah hadis-hadis lain (salah satunya juga diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik menurut versi Abu Dzar) yang mengatakan bahwa Nabi diberangkatkan dari dalam rumahnya dengan membukanya atap-atap rumah beliau dengan sendirinya untuk kemudian muncul Jibril dan langsung membelah dadanya lalu ada juga hadis yang mengatakan bahwa Nabi tidak berangkat dari rumahnya dan tidak pula dari dekat Ka’bah tetapi dari rumah Umi Hani binti Abu Thalib saat beliau menginap disana.
Disini kita tidak akan banyak bercerita mengenai riwayat detil hadis-hadis itu namun untuk diketahui saja bahwa ada banyak sekali variasi hadis yang menceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini dan masing-masing isi hadis saling berseberangan atau bertolak belakang;
Dari kacamata ilmu modern, salah satu dari kumpulan hadis-hadis itu pasti benar atau semuanya salah yang disebabkan terdistorsinya hadis Nabi oleh pikiran, ucapan maupun khayalan para perawinya, toh, mereka adalah manusia biasa, tidak ada jaminan para perawi hadis bebas dari kesalahan. Mustahil Nabi Muhammad bercerita mengenai kejadian yang sama tetapi berbeda informasinya, sebab ini berarti Nabi sudah berdusta padahal sifat ini sangat jauh dari pribadi seorang Muhammad yang sejak kecil digelari masyarakatnya sebagai al-amin.
Inilah makanya jangan terlalu bertaklid terhadap hadis, bersifat kritislah, enyahkan jauh-jauh emosional yang mengganggu pikiran rasional.
Selanjutnya dari masjid al-haram perjalanan Nabi sampai kemasjid al-aqsha; bertitik tolak dari istilah masjid al-aqsha ini maka sejumlah ulama kembali berbeda pandangan, apakah yang dimaksud adalah masjid al-aqsha yang sekarang ini berada ditanah Yerusalem ataukah nama suatu tempat nun jauh disana. Dalam hal ini Saleh A. Nahdi (Sumber: Saleh A. Nahdi, Mi’raj Isra bukan Isra Mi’raj, Penerbit PT. Arista Brahmatyasa, Jakarta, 1993, hal. 45) berpendapat bahwa masjid al-aqsha yang dimaksud merupakan masjid Nabawi dikota Madinah, dimana menurut beliau tujuan perjalanan Nabi kesana sebagai petunjuk awal dari Allah kepada Nabi Muhammad untuk berpindah dari tanah kelahirannya Mekkah al-mukarromah yang waktu itu masyarakatnya sangatlah membenci beliau sekaligus menjadi titik tolak kemenangan Islam dimasa depan.
Saleh A. Nahdi menyatakan bahwa penyebutan masjid al-aqsha untuk nama tempat yang ada di Yerusalem tidaklah sesuai dengan kalimat ‘Kami berkati sekelilingnya’ sebab pada kenyataannya daerah ini tidak pernah mencerminkan isi ayat tersebut, sebaliknya hampir setiap hari kita lihat diberita terjadi pembantaian manusia oleh zionis Israel.
Senada dengan Saleh A. Nahdi, Taufik Adnan Amal (sumber: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, dengan kata pengantar : Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA), Yogyakarta, 2001, hal. 79, catatan kaki no. 59) berpendapat dengan merujuk istilah masjid al-aqsha yang ada pada surah al-Israa’ ayat satu kepada tempat peribadatan yang terletak di Yerusalem sangat tidak logis, karena masjid al-Aqsha baru dibangun sekitar 46 tahun setelah wafatnya Nabi, dan hadis-hadis yang bercerita pengalaman Nabi di Bait al-Maqdis bukan satu-satunya yang ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis tentang peristiwa Mi'raj.
Menurut beliau, hadis-hadis lainnya memberi keterangan bahwa perjalanan spiritual Nabi tersebut bermula dari Mekkah dengan tanpa menyebut perjalanan ke Yerusalem [Lihat misalnya Bukhari, Shahih, Kitab al-Shalat, bab kayfafuridlat al-shalat...; Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ay al-Qur'an, eds. Mahmud Muhammad Syakir & Ahmad Muhammad Syakir]; Disisi lain Taufik juga mempertanyakan bila Yerusalem dalam ayat lain dinyatakan sebagai negeri terdekat (Lihat surah 30 ar-Rum ayat 3) maka bagaimana mungkin sekarang dinyatakan Yerusalem sebagai masjid terjauh ?
Oleh karena itu masih menurut beliau, maka ahli sejarah Islam terkenal, Thabari tidak memasukkan versi hadis tentang perjalanan Nabi ke Yerusalem, tetapi menuturkan perjalanan spiritual Nabi ke langit dunia tanpa menyinggung Yerusalem. Namun berbeda dengan Saleh A. Nahdi yang berpendapat masjid al-aqsha adalah masjid Nabawi, maka Taufik Adnan Amal berpendapat bahwa masjid al-aqsha yang tercantum didalam kitab suci merujuk tempat ibadah para malaikat dilangit.
Bila kita kembalikan lagi kepada al-Qur’an sebagai data paling otentik yang diakui oleh umat Islam, penunjukan masjid al-aqsha kepada Bait al-Maqdis di Yerusalem memang tidak pernah ada sebaliknya ketika menyambung pembicaraan mengenai Isra’ Mi’raj dalam surah an-Najm, al-Qur’an memperkenalkan istilah Sidratul Muntaha dimana Nabi disebutkan telah melihat wujud asli dari malaikat Jibril.; Istilah masjid al-aqsha secara terminologi berarti tempat sujud yang jauh. Dari kitab suci, pemakaian kata masjid pernah disebut untuk merujuk tempat ibadah ashabul kahfi yang hidup sebelum kenabian Muhammad, sehingga argumentasi bahwa pengertian masjid hanya terbatas pada nama tempat dimana umat Nabi Muhammad beribadah menjadi lemah.
Sungguh kami akan mendirikan masjid (tempat bersujud) diatasnya
– Qs. 18 al-Kahf : 21
Untuk itu tidak berlebihan kiranya apabila saya cenderung mengkaitkan antara masjid al-aqsha dengan Sidratul Muntaha, dengan kata lain bahwa masjid al-aqsha yang dimaksud tidak berada dibumi ini.
Mengkaitkan antara masjid al-aqsha sebagai masjid Nabawi maupun Bait al-Maqdis di Yerusalem sama sekali tidak tepat selain memang bertentangan dengan fakta historis tanah tepi barat yang selalu menumpahkan darah sehingga tidak layak disebut kota suci yang diberkahi Tuhan sepanjang masa, perjalanan Nabi untuk sujud dimasjid Nabawi yang notabene belum ada saat itu tidak masuk dilogika.; Kita tahu sebelum Nabi memutuskan hijrah ke Madinah (dulu bernama Yatsrib) Nabi pernah melakukan hijrah ke Ethiopia (Habsyah) namun gagal. Seandainya Nabi sudah tahu bahwa tempat hijrah yang sebenarnya adalah di Madinah, beliau tidak perlu lagi mencoba ke Ethiopia.
Sidratul Muntaha bila dilihat dari kacamata ilmu modern bisa diasumsikan bagi nama sebuah planet bumi lain diluar tata surya yang kita diami ini yang letaknya jauh dari jangkauan penglihatan indrawi kita secara kasat mata. Surah an-Najm ayat ke-7 menyebutnya dengan istilah ufuk yang tinggi, sedangkan ufuk sendiri adalah batas pandangan mata, kita juga tahu mata kita ini memiliki keterbatasan dalam melihat semua benda luar angkasa yang berjumlah jutaan itu.
Dan dia berada diufuk yang tinggi – Qs. 53 an-Najm : 7
Saya juga menghubungkan antara Sidratul Muntaha yang disebut dalam ayat ke-15 surah an-Najm terdapat Jannah sebagai tempat tinggal dengan Jannah dimana dulunya Adam berasal sebelum diperintahkan Allah turun kebumi kita ini dan di Jannah itu juga para Malaikat pernah bersujud kepada Adam.
Didekatnya ada Jannah tempat tinggal – Qs. 53 an-Najm : 15
Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu didalam Jannah itu
– Qs. 7 al-a’raaf : 19
Dan saat Kami memerintahkan kepada Malaikat : ‘Sujudlah kamu semua kepadanya !’ ; Lalu mereka bersujud kecuali Iblis
– Qs. 17 al-Israa’ : 61
Istilah Jannah sendiri bisa diartikan sebagai kebun yang subur (referensi : A. Hassan, Tafsir al-Furqon, Penerbit Pustaka Tamaam Bangil, 1986, hal. 10, catatan kaki no.38), dan kita bisa membaca sifat Jannah yang lain dari surah Thaha ayat 118 dan 119 bahwa didalamnya Adam tidak merasa kepanasan akibat sinar matahari dan tidak juga dia merasa kehausan atau kelaparan maupun sampai telanjang akibat udara yang panas sehingga harus membuka pakaian, sebab tempat tersebut banyak sekali pepohonan yang rimbun dan buahnya bisa dinikmati sebagaimana isi surah al-Baqarah ayat 35.
Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan dan telanjang didalamnya dan sungguh kamu juga tidak akan merasa dahaga maupun ditimpa panas matahari disana – Qs. 20 Thaha : 119
Bila kita mengadakan bacaan lintas kitab seperti yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya, al-Kitab Kristen pun menceritakan bahwa Adam dan istrinya bukan tinggal di surga yang wujudnya tidak dapat dibayangkan secara konkrit melainkan tinggal dalam sebuah kebun yang subur.
Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu.
- Perjanjian Lama : Kitab Kejadian : Pasal 2 ayat 8
Dengan demikian, perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad selaku Nabi terakhir pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah suatu perjalanan pulang kampung. Melihat kembali tempat dimana dulunya nenek moyang manusia bumi ini (yaitu Adam dan istrinya) berasal.
Hadis-hadis yang mengisahkan peristiwa ini memang sangat beragam dan tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang lain, namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, ada persamaan yang perlu kita perhatikan, yaitu kisah dimana Nabi disebutkan mengendarai Buraq dalam perjalanan malamnya itu.
Adalah logis dan sejalan dengan kausalita bahwa saat seseorang melakukan perjalanan yang berjarak jauh, dia memerlukan alat transportasi sebagai jembatan atas keterbatasan phisiknya. Apalagi untuk menempuh perjalanan antar bintang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, praktis beliau pun membutuhkan sarana transportasi ini dengan kemampuan yang memang memadai untuk memberikan perlindungan dari segala macam bahaya, baik dari benturan meteor, kehampaan udara, pergesekan dengan atmosfir bumi dan sebagainya. Allah tidak melakukan pelanggaran hukum alam disini, Dia tidak memperjalankan Nabi Muhammad layaknya seorang Superman yang terbang bebas atau tidak juga memberinya kuda sembrani bersayap dan karpet terbang namun Dia memberikan sebuah wahana antariksa bernama Buraq.
Istilah Buraq mungkin berasal dari istilah Barqu yang berarti kilat sebagaimana terdapat pada ayat al-Qur’an yang bisa dilihat dibawah ini. Dengan perubahan istilah barqu menjadi buraq, Nabi hendak menyampaikan kepada kita bahwa kendaraannya itu memiliki kecepatan diatas sinar, jauh meninggalkan teknologi yang sudah kita capai dijaman sekarang ini, mungkin lebih mirip dengan kecepatan piring terbang yang sering dilaporkan oleh masyarakat sehingga praktis Nabi dapat melakukan perjalanan antar planet dalam waktu setengah malam saja.
Hampir-hampir kilat itu menyambar pemandangan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan dibawah sinar itu dan bila gelap tiba, mereka berhenti berjalan. Niscaya jika Allah menghendakinya Dia melenyapkan pemandangan dan penglihatan mereka, karena Allah maha berkuasa atas segala sesuatu. – Qs. 2 al-baqarah : 20
Para sarjana telah melakukan penyelidikan dan berkesimpulan bahwa kilat atau sinar bergerak sejauh 186.000 mil atau 300 Kilometer perdetik. Dengan penyelidikan yang memakai sistem paralax, diketahui pula jarak matahari dari bumi sekitar 93.000.000 mil dan dilintasi oleh sinar dalam waktu 8 menit. Untuk menerobos garis tengah jagat raya saja memerlukan waktu 10 milyar tahun cahaya melalui galaksi-galaksi dan selanjutnya menuju tempat yang oleh S. Anwar Effendie (sumber: S. Anwar Effendie, Isra’ Mi’raj, Perjalanan ruang waktu dalam kaitannya dengan penciptaan alam raya, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 147) disebutnya sebagai kulit bola alam raya dengan garis tengah 40 milyar tahun cahaya.
Untuk mencapai jarak yang demikian jauhnya tentu diperlukan penambahan kecepatan yang berlipat kali kecepatan cahaya. Karenanya Kenneth Behrendt seorang konsultan teknik dan ahli kimia Amerika seperti yang dilansir oleh Angkasa Online N0.8 Mei 2000 TAHUN X (sumber: Angkasa Online, www.angkasa-online.com/10/08/fenom/fenom1.htm, Menjejak UFO dengan Kemampuan Terbatas, No.8 Mei 2000 Tahun X) mengungkapkan pesimistiknya mengenai perjalanan keluar angkasa jika hanya mengandalkan teknologi pesawat saja, sebab menurutnya perjalanan kealam semesta terdekat, yakni Alpha Centauri yang berjarak empat tahun cahaya, bisa dipastikan tak akan pernah terjadi.
Sebab untuk mencapainya paling-tidak diperlukan waktu hingga 80.000 tahun. Dengan waktu selama ini, boleh jadi tujuan perjalanan yang sesungguhnya justru akan terlupakan di tengah jalan. Perjalanan pun kian tak berarah mengingat dalam kecepatan cahaya tak ada satu pun gelombang radio yang bisa digunakan untuk mengantar pesan dan komando taktis dari pangkalannya dibumi ini.
Namun bagi saya, disitulah justru letak keistimewaan terbesar Nabi Muhammad selain al-Qur’an, bukankah sudah kita bahas sebelumnya bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj bukanlah atas kehendak dari Nabi sendiri dan tidak juga mengandalkan teknologi atau kemampuan yang beliau miliki tetapi semuanya atas keinginan dari Allah yang memang maha memiliki kemampuan teknologi dan adalah mudah bagi-Nya untuk menyiapkan sebuah pesawat yang mampu melintasi alam semesta dengan garis tengah milyaran tahun cahaya.
Dari sisi ilmu komputer mungkin bisa dicontohkan dengan analogi dari prinsip-prinsip jaringan komputer sebagai berikut : Protocol TCP / IP yang kita gunakan di Internet kita ibaratkan sebagai Buraq atau kendaraan yang dipakai oleh Nabi, sedangkan diri Nabi Muhammad sendiri adalah paket data (e-mail misalnya) yang akan kita kirimkan ke ujung belahan dunia lain (planet Muntaha). Melalui proses enkripsi, enkode dan dekode yang dikapsulkan (capsulated) di dalam protocol TCP / IP (Buraq), paket data (dalam hal ini Nabi) dapat melihat-lihat dan berjalan-jalan menelusuri jaringan Internet yang berbeda-beda dimensinya (disini kita ingat bahwa Nabi disebut-sebut banyak melihat-lihat pemandangan yang mencerminkan masa yang akan datang), lewat transmisi terrestrial (dimensi kabel, serat optik) kemudian di up link melalui transmisi satelit dan micro wave (dimensi radio link) hingga kembali ke bentuk dimensi asalnya teks di layar komputer (planet Muntaha), begitu juga sebaliknya.
Untuk itulah kiranya bisa dimengerti kenapa sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi, Nabi Muhammad dibelah dadanya oleh para Malaikat. Hal ini tidak lain sebagai suatu persiapan kondisi jasmaninya agar cukup dan mampu dalam menempuh penerbangan jarak jauh. Sebab jantung merupakan alat vital bagi manusia terutama dalam memacu peredaran darah yang mana jantung ini bekerja tanpa henti-hentinya sejak dari kandungan sampai dengan akhir hayatnya.
Sepasang dokter Amerika yang terdiri dari suami istri, Dr. William Fisher dan Dr. Anna Fisher mengatakan bahwa perkembangan ilmu kedokteran antariksa tengah memfokuskan penyelidikannya sehubungan dengan pembuluh darah jantung para astronot dan kondisi-kondisi tulang yang makin lemah setelah lama dalam ruang angkasa, ini membuktikan kebenaran dari peristiwa pembedahan dada Nabi Muhammad oleh dokter-dokter ahli langit yang ditunjuk oleh Allah, yaitu para malaikat yang diketuai oleh Jibril.
Dalam peristiwa pembedahan dan pembersihan jantung Nabi sebelum Mi'raj kiranya merupakan gambaran adanya pengertian bagi manusia umumnya untuk mempelajari ilmu kedokteran khusunya dalam bidang bedah dan anatomi serta ilmu kedokteran antariksa. Dan ternyata kemudian bedah jantung ataupun pencangkokan jantung dan ilmu kedokteran antariksa oleh para ahli mulai diperkenalkan pada abad dua puluh.
Pada abad-abad kemajuan Islam dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan, maka jelaslah bagi kita bahwa ahli-ahli kedokteran muslim telah memperlihatkan kemajuan yang pesat sekali. Buku-buku berbahasa Arab yang berisi ilmu-ilmu kedokteran benar-benar ilmiah dan asli. Malahan sudah menjadi bahan pelajaran dinegara Eropa khususnya, ahli-ahli kedokteran yang termasyur misalnya saja Ibnu Sina (Aviccena), Qorsh-'Ala'uddin, Ibnu An Nafis (yaitu dokter yang pertama kali mengajarkan peredaran darah) dimana dalam tulisan itu dijelaskan secara sistematis bagaimana aliran darah mengalir dari hati kejantung melalui urat nadi paru-paru dan kemudian kembali lagi kehati.
Mengenai kecepatan cahaya sendiri, al-Qur’an sudah memberikan contoh melalui perjalanan malaikat menuju kehadirat-Nya dalam ayat berikut :
Naik malaikat-malaikat dan ruh-ruh kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun - Qs. 70 al-Maarij : 4
Ukuran waktu dalam ayat diatas disebutkan angka 50 ribu tahun sebagai rentang waktu yang menunjukkan betapa lamanya waktu yang diperlukan penerbangan malaikat dan Ar-Ruh untuk sampai kepada Tuhan. Namun bagaimanapun juga ayat itu menunjukkan adanya perbedaan waktu yang cukup besar antara waktu kita yang tetap dibumi dengan waktu malaikat yang bergerak cepat diluar angkasa, dalam bahasa modern kita bisa menjelaskan bahwa waktu untuk seseorang yang berada dibumi berbeda dengan waktu bagi orang yang ada dalam pesawat yang berkecepatan tinggi.
Perbedaan waktu yang disebut dalam ayat diatas dinyatakan dengan angka satu hari malaikat berbanding 50.000 tahun waktu bumi, perbedaan ini tidak ubahnya dengan perbedaan waktu bumi dan waktu elektron, dimana satu detik bumi sama dengan 1.000 juta tahun elektron atau 1 tahun Bima Sakti sama dengan 225 juta tahun waktu sistem solar.
Jadi bila malaikat berangkat jam 18:00 dan kembali pada jam 06.00 pagi waktu malaikat, maka menurut perhitungan waktu dibumi sehari malaikat sama dengan 50.000 tahun waktu bumi. Dan untuk jarak radius alam semesta hingga sampai ke Muntaha dan melewati angkasa raya yang disebut sebagai 'Arsy Ilahi, 10 Milyar tahun cahaya diperlukan waktu kurang lebih 548 tahun waktu malaikat. Namun malaikat Jibril kenyataannya dalam peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad Saw itu hanya menghabiskan waktu 1/2 hari waktu bumi (maksimum 12 Jam) atau sama dengan 1/100.000 tahun Jibril.
Contoh lain yang cukup populer, yaitu paradoks anak kembar, ialah seorang pilot kapal ruang angkasa yang mempunyai saudara kembar dibumi, dia berangkat umpamanya pada usia 0 tahun menuju sebuah bintang yang jaraknya dari bumi sejauh 25 tahun cahaya. Setelah 50 tahun kemudian sipilot tadi kembali kebumi ternyata bahwa saudaranya yang tetap dibumi berusia 49 tahun lebih tua, sedangkan sipilot baru berusia 1 tahun saja. Atau penerbangan yang seharusnya menurut ukuran bumi selama 50 tahun cahaya pulang pergi dirasakan oleh pilot hanya dalam waktu selama 1 tahun saja.
Dari contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa jarak atau waktu menjadi semakin mengkerut atau menyusut bila dilalui oleh kecepatan tinggi diatas yang menyamai kecepatan cahaya. Kembali pada peristiwa Mi'raj Rasulullah bahwa jarak yang ditempuh oleh Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad dengan Buraq menurut ukuran dibumi sejauh radius jagad raya ditambah jarak Sidratul Muntaha pulang pergi ditempuh dalam waktu maksimal 1/2 hari waktu bumi atau 1/100.000 waktu Jibril atau sama dengan 10 pangkat -5 tahun cahaya, yaitu kira-kira sama dengan 9,46 X 10 pangkat-23 cm/detik dirasakan oleh Jibril bersama Nabi Muhammad (bandingkan dengan radius sebuah elektron dengan 3 X 19 pangkat -11 cm) atau kira-kira lebih pendek dari panjang gelombang sinar gamma.
Nah, istilah berkah yang disebut dalam surah al-Israa’ ayat satu menurut pendapat penulis merupakan penjagaan total yang melindungi Nabi Muhammad didalam kendaraan Buraqnya dari berbagai bahaya yang dapat timbul baik selama perjalanan dari bumi atau juga selama dalam perjalanan diruang angkasa, termasuk pencukupan udara bagi pernafasan Rasulullah selama itu dan lain sebagainya.
Jika kita sudah terbiasa menonton film Star Treks, Star Wars, Babilon V atau juga Independence Day (ID4) maka tidaklah sukar kiranya untuk memahami peristiwa yang dialami oleh Nabi dalam kisah Isra’ dan Mi’raj tersebut. Manusia sekarang ini sudah mampu mengkhayal kecanggihan yang demikian luar biasanya dalam film-film fiksi ilmiah dan ini sebenarnya adalah ilham yang sudah diberikan Allah kepada kita agar kelak kitapun harus dapat merealisasikannya secara nyata.
Dus, perjalanan Nabi Muhammad yang masih dianggap fantastis dan ghaib ini bukan satu-satunya hal yang pernah terjadi dalam sejarah kenabian, didalam al-Kitab tepatnya pada Perjanjian Lama kita juga bisa membaca bahwa Nabi Yehezkiel (salah seorang Nabi Israel yang oleh sementara cendikiawan Islam diduga sebagai Nabi Zulkifli) pernah melakukan perjalanan yang serupa hanya saja beliau tidak sampai menjelajah keluar angkasa.
Berikut petikan kisahnya :
Dalam tahun kedua puluh lima sesudah pembuangan kami, yaitu pada permulaan tahun, pada tanggal sepuluh bulan itu, dalam tahun keempat belas sesudah kota itu ditaklukkan, pada hari itu juga kekuasaan TUHAN meliputi aku dan dibawa-Nya aku dalam penglihatan-penglihatan ilahi ke tanah Israel dan menempatkan aku di atas sebuah gunung yang tinggi sekali. Di atas itu di hadapanku ada yang menyerupai bentuk kota.
Ke sanalah aku dibawa-Nya. Dan lihat, ada seorang yang kelihatan seperti tembaga dan di tangannya ada tali lenan beserta tongkat pengukur; dan ia berdiri di pintu gerbang.
Orang itu berbicara kepadaku: ‘Hai anak manusia, lihatlah dengan teliti dan dengarlah dengan sungguh-sungguh dan perhatikanlah baik-baik segala sesuatu yang akan kuperlihatkan kepadamu; sebab untuk itulah engkau dibawa ke mari, supaya aku memperlihatkan semuanya itu kepadamu. Beritahukanlah segala sesuatu yang kaulihat kepada kaum Israel’. – Perjanjian Lama : Kitab Yehezkiel 40 : 1 - 4
Dalam ayat diatas kita mendapat gambaran, bahwa Nabi Yehezkiel atas kehendak dari Allah –serupa dengan kejadian Nabi Muhammad yang bukan atas keinginan pribadinya- telah diperjalankan dari tempatnya semula menuju kesuatu gunung yang sangat tinggi dan dari atas gunung itu Yehezkiel mampu memandang keseluruhan kota secara leluasa. Pada ayat lain dari kitab Yehezkiel, kita juga akan menemukan bahwa kemungkinan Buraq juga sudah pernah diturunkan oleh Allah melalui malaikat-Nya pada jaman kenabian Yehezkiel dan mungkin pesawat yang memiliki kecepatan diatas cahaya ini juga yang telah membawanya keatas sebuah puncak gunung yang tinggi itu.
Datanglah firman TUHAN kepada imam Yehezkiel, anak Busi, di negeri orang Kasdim di tepi sungai Kebar, dan di sana kekuasaan TUHAN meliputi dia.
Lalu aku melihat, sungguh, angin badai bertiup dari utara, dan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat-kilat dan awan itu dikelilingi oleh sinar; di dalam, di tengah-tengah api itu kelihatan seperti suasa mengkilat. Dan di tengah-tengah itu juga ada yang menyerupai empat makhluk hidup dan beginilah kelihatannya mereka: mereka menyerupai manusia. – Perjanjian Lama : Kitab Yehezkiel 1:3-5
Terlepas sejauh mana kepercayaan kita pada apa yang disampaikan didalam kitab Perjanjian Lama tersebut, setidaknya secara obyektif kita memiliki satu parameter perbandingan dengan kisah-kisah yang ada didalam Islam. Apalagi kita tahu bahwa al-Kitab sendiri sebenarnya merupakan ajaran Tuhan yang pernah ada namun di interpolasi oleh tangan-tangan manusia, tetapi dibalik semua intervensi yang terjadi ini saya memiliki keyakinan bahwa jejak-jejak kebenaran Tuhan akan tetap ada dan nyata dalam kitab tersebut, karena itu al-Qur’an disebut sebagai korektor atau pembanding terhadap kebenaran yang ada.
Dan Kami telah menurunkan untukmu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang ada sebelumnya, yaitu beberapa kitab suci sekaligus menjadi korektor terhadap kitab-kitab yang lain itu – Qs. 5 al-Maidah : 48
Wassalam,